Irsyad Rafsadie

catatan · penelitian · terjemahan

Demokrasi Digital di Dunia Islam?

Philip N. Howard, The Digital Origins of Dictatorship and Democracy: Information Technology and Political Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 300 halaman.

Blog
Ulasan

Ulasan Buku oleh Irsyad Rafsadie dan Ihsan Ali-Fauzi

Banyaknya peristiwa sosial-politik di negara-negara berkembang belakangan ini, yang disertai oleh makin meluasnya pemanfaatan teknologi informasi, menarik minat para peneliti untuk menyelidiki hubungan antara keduanya. Namun, riset- riset yang ada kebanyakan masih berfokus pada satu atau dua negara. Beberapa riset sudah mencoba memotret pola besar kaitan keduanya, namun masih sering berkutat pada data yang itu-itu saja dan gegabah dalam membuat generalisasi. Philip N. Howard mencoba mengisi kelemahan dalam melihat hubungan teknologi informasi dan demokratisasi ini dengan menggunakan perspektif komparatif kualitatif. Dia menyelidiki 75 negara berpenduduk Muslim dari 1994 sampai 2010. Data yang dia olah dengan metode teori set menunjukkan bahwa penyebaran teknologi berperan penting dalam memperkuat institusi- institusi demokrasi, termasuk di dunia Islam.

Ketika kerusuhan meletus di Iran beberapa hari sesudah pemilu 2009 lalu, arus informasi yang mempersoalkan kejanggalan pemilu mengalir deras di masyarakat melalui ponsel dan internet. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) oleh masyarakat Iran memang cukup luas. Tetapi hal itu tak membawa perubahan politik atau kelembagaan signifikan seperti yang terjadi di Indonesia pada 1998.

Kasus Iran menarik perhatian peneliti untuk lebih mendalami hubungan TIK dengan demokratisasi di negara-negara berkembang. Apakah TIK termasuk “bahan baku utama” dalam “resep” demokratisasi? Inilah pertanyaan pokok Philip N. Howard, guru besar tamu pada Department of Communication Information School, University of Washington, dalam bukunya ini, yang judulnya mengingatkan kita pada karya Barrington Moore, The Social Origins of Dictatorship and Democracy.

Seperti Moore, Howard tidak mengajukan satu jalur tunggal ke arah demokrasi. Teknologi saja tidak menyebabkan demokratisasi, seperti terjadi di Iran. Tapi teknologi, menurut Howard, jelas membangun kapasitas dan juga menetapkan batas kepada para aktor politik. Penyebaran TIK menyediakan infrastruktur untuk lahirnya sistem komunikasi politik baru dan memengaruhi institusi demokrasi. Kemajuan TIK berpeluang besar mengubah cara budaya politik diproduksi dan dikonsumsi.

Dari awal jelas bahwa Howard ingin keluar dari pandangan umum selama ini yang melulu menonjolkan internet di negara-negara Muslim sebagai alat organisasi teroris, objek strategis yang diperebutkan kelompok-kelompok Muslim, atau sarana sensor pemerintah Muslim. Mengutip Melvin Kranzberg, menurutnya, “teknologi tidak buruk, tidak baik, tidak juga netral.” Howard lebih menyoroti dampak TIK terhadap struktur dan isi komunikasi politik.

Howard percaya, jika teknologi digital tidak netral, pasti ada cara untuk mengetahui dampak keseluruhan teknologi di banyak negara. Dalam rangka ini, dia menghindari perspektif determinis teknologi (bahwa komunikasi melahirkan perubahan sosial) dan perspektif determinis organisasi (bahwa masyarakat melahirkan perubahan teknologi). Dia mengambil jalan tengah dengan mengajukan perspektif yang disebutnya “determinisme lunak”. Di sini dipahami, para perancang teknologi dan pembuat kebijakan membuat keputusan yang membangun kapasitas atau membatasi pengguna. Tapi di sisi lain, masyarakat sesekali berkesempatan melakukan aksi kolektif untuk membentuk ulang kapasitas dan batasan itu.

Ini salah satu inovasi riset Howard yang patut dipuji dan perlu diulas lebih jauh. Karena
alasan itu, dia menyelidiki 75 negara dengan populasi Muslim signifikan. Ke-75 negara itu dipilih karena punya tiga kesamaan: lamban berdemokrasi dibanding negara berkembang lainnya; punya tingkat penyebaran teknologi yang pesat; dan pemerintahnya menggunakan teknologi untuk menyensor budaya politik dan mengelola arus informasi. Negara-negara ini lalu dibagi ke dalam beberapa sub-kelompok, untuk memperdalam variasinya: Yang mengalami transisi (dari otoritarianisme ke demokrasi); yang mengalami penguatan demokrasi (dari demokrasi “gadungan” ke “sungguhan”); yang mengalami sedikit perubahan kelembagaan namun tetap otoritarian; dan yang berada dalam situasi krisis, perang, atau hampir ambruk.

Dengan begitulah Howard bisa menganalisis bagaimana TIK berkontribusi pada penguatan demokrasi atau transisi di negara- negara tersebut. Dengan metode komparatif, dia juga meneliti negara yang dengan penyebaran TIK mengarah ke otoritarianisme, atau tak membawa perubahan demokratik sama sekali. Dengan demikian, kondisi niscaya untuk demokratisasi bisa diketahui dengan jelas.

Untuk mendukung rencana riset di atas, dia menggunakan pendekatan yang dia sebut “teori-set.” Pendekatan ini memusatkan perhatian pada hubungan konsisten di antara data set, terutama kesamaan kausal yang relevan yang sama-sama ada di sekumpulan kasus. Data ke-75 negara direkalibrasi dengan sesama negara berkembang lainnya, bukan dengan negara maju di Barat. Ukuran penyebaran internet tidak diindeks berdasarkan pengguna internet per kapita, atau koran harian per negara, tapi lewat komparasi-set. Sebagai contoh, berita online di suatu negara diperhitungkan bukan karena jumlahnya yang banyak dibanding negara-negara lainnya di seluruh dunia, tapi karena punya bagian relatif besar dari semua situs berita online di antara ke-75 negara.

Demikian halnya, demokratisasi tidak ditala dengan menggunakan standar Barat, tapi dengan standar tertinggi dan terendah di sesama negara berkembang lainnya. Dalam riset Howard, standar tertingginya Turki dan Indonesia, sementara standar terendahnya Libya dan Turkmenistan.

Kerangka konseptual dan indikator-indikator untuk menyelidiki penyebaran teknologi dan institusi- institusi politik tadi dijabarkan Howard di bab pertama. Pada bab kedua sampai kelima, Howard mengulas pemanfaatan TIK oleh empat aktor politik utama: negara, partai politik, media massa,
dan kelompok sipil. Beberapa kesimpulannya menarik dicatat, sekalipun tak semuanya mengagetkan. Dia menemukan bahwa ada ketergantungan di dalam masyarakat Muslim terhadap informasi global; bahkan, katanya, negara otoriter pun menciptakan kondisi transparansi dan akuntabilitas demi keuntungan ekonomi dan perluasan kapasitas negara. Partai-partai politik, katanya, kini tak mudah mengontrol media digital semudah mereka sebelumnya mengontrol media tradisional. Dia juga mencatat bahwa internet belum banyak digunakan partai oposisi. Akhirnya, dia mencatat bahwa perubahan besar akibat teknologi informasi terjadi pada dunia bisnis, jurnalisme, dan masyarakat sipil. TIK, misalnya, melahirkan aktor politik baru yang disebut citizen journalist. Hanya berbekal kamera ponsel dan blog, mereka bisa menjadi sumber berita lokal dan bahkan global.

Temuan riset Howard dirangkum dalam kesimpulan. Dia kembali ke pertanyaan semula mengenai hubungan penyebaran teknologi dan perubahan demokrasi, dengan menyertakan juga analisis terhadap faktor-faktor yang biasa diduga sebagai penyebab demokratisasi: pendapatan rata-rata (GDP, paritas daya beli), pemerataan ekonomi (koefisien gini), tingkat pendidikan (prosentase rata-rata warga yang lulus sekolah menengah), seberapa penting ekspor minyak buat negara (prosentase ekspor), besaran komunitas Muslim (prosentase pemeluk Islam dari seluruh populasi), dan besaran populasi. Semuanya menjadikan analisisnya berlapis-lapis, dan cukup rumit, yang menunjukkan keinginannya untuk melacak kaitan antara penyebaran teknologi dan demokratisasi.

Bukti-bukti yang dikumpulkan Howard menunjukkan bahwa negara dengan tingkat penyebaran TIK tinggi hampir semuanya mengalami perubahan signifikan dalam sistem komunikasi politiknya. TIK, beserta faktor lainnya, menjadi “kondisi niscaya” dan “kondisi mencukupi” bagi terjadinya transisi dan penguatan demokrasi.

Negara dan parpol tak bisa lagi membendung produksi budaya politik, sementara masyarakat dan jurnalis makin melek internet. Internet dan ponsel jelas bukan satu-satunya faktor, tapi Howard bisa menyimpulkan bahwa sekarang ini tak ada transisi demokrasi yang mungkin terjadi tanpa teknologi informasi.

Selain oleh mahasiswa dan peneliti, yang bisa mengambil banyak pelajaran tentang bagaimana riset mesti dilakukan, buku ini penting diperhatikan oleh para aktor politik di Indonesia. Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini adalah salah satu negara dengan pengguna Facebook terbesar di dunia. Penanganan teknologi informasi agar alat ini tak menjadi sarana penyebaran radikalisme dan intoleransi jelas sangat penting. Tapi penting juga memanfaatkan teknologi informasi untuk penguatan demokrasi seperti untuk menekan politik biaya tinggi dan memberantas korupsi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.